TINGKAT SOSIAL DAN PERAN WANITA
DALAM OLAHRAGA
(MASKULINITAS,
FEMINIMITAS)
Wanita,
jika dibandingkan pada periode sebelumnya memiliki peran yang relatif lebih
tinggi. Hal ini terbukti dan semakin luasnya kesempatan wanita dalam
kegiatan-kegiatan yang dulunya lebih didominasi oleh kaum pria. Dalam hal
kajian sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari pola kehidupan masyarakat, di
mana masyarakat merupakan objek dari masalah-masalah sosial yang dikaji, wanita
adalah bagian dari sekelompok masyarakat sehingga wanita merupakan bagian dari
objek yang penting dalam suatu kajian ilmu sosiologi.
Isu tentang gender telah menjadi
bahasan analisis sosial (sosiologi), menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial tak terkecuali di dunia
olahraga. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media
massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang
protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap
kaum perempuan hampir di semua bidang. Ketidakadilan dan diskriminasi tidak
terkecuali hal itu terjadi pula dibidang olahraga,
Gender dipersoalkan karena secara
sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta
ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan
akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam bidang olahrga yakni laki-laki dan
perempuan mempunyai peran yang amat berbeda.
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan
fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis-anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun
kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya
pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak aktif
mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in Sport
dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992). Penulis meyakini
benar bahwa hal demikian juga berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang aktif
dalam olahraga.
Banyak anggapan bahwa faktor yang menentukan dalam berolahraga dalam
masyarakat adalah gender. Dimana kaum laki-laki dianggap lebih mumpuni
dibandingkan perempuan dalam bidang olahraga. Namun sebenarnya hal tersebut
merupakan anggapan yang keliru, karna sifat fisiologisnya yang menganggap
wanita lebih lemah dari pada laki-laki. Namun sebenarnya seberapa luas dia
mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam
interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya untuk
mampu berkembang dibidang olahraga dalam menggali semua potensi yang dimiliki
baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai :
a.
Sejarah perkembangan wanita dalam olahraga?
b.
Seberapa besar hubungan
wanita dalam peran dan bentuk partisipasi wanita dalam bidang olahraga?
c.
Perkembangan keterlibatan wanita dalam olahraga?
d.
Adakah hubungan yang
signifikan antar prestasi wanita yang mengikuti perlombaan dengan prestasi yang
telah dicetaknya?
B. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan
makalah ini dibuat adalah sebagai berikut :
a. Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan wanita dalam olahraga.
b. Untuk mengetahui sejauh mana peran wanita dalam keikut-sertaan dan bentuk
partisipasinya dalam bidang olahraga.
c. Untuk mengetahui apa saja keterlibatan wanita dalam olahraga.
d. Untuk mengetahui sejauh mana prestasi wanita dalam mengikuti
kejuaraan-kejuaran di dalam perlombaan dalam bidang olahraga.
1.
Sejarah Perkembangan Wanita dalam Olahraga.
Tahukah
Anda ? Pada olimpiade jaman dahulu, wanita
dilarang untuk ambil bagian. Khususnya bagi Wanita yang sudah menikah,
jangankan untuk jadi pesertanya, hanya untuk memasuki wilayah pertandingan
sebagai penonton pun kaum wanita tidak diperbolehkan. Jika mereka ketahuan,
hukumannya adalah mati. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah pertandingan
bagi kaum mereka sendiri yang di dedikasikan untuk dewi Hera. Hera adalah istri
Zeus.
Ketika
Olimpiade dihidupkan kembali pada tahun 1896,
oleh pendirinya yaitu Baron Pierre de Coubertin iapun tidak setuju dengan
adanya partisipasi wanita di Olimpiade. Masalah ini menjadi topik dari sekian
banyak perdebatan diantara anggota awal IOC (International Olympic Committee).
Wanita
tidak ambil bagian dalam pertandingan olimpiade sampai
pada tahun 1900 sampai pada akhirnya ada seorang wanita Inggris bernama
Charlotte Cooper menjadi wanita pertama yang meraih medali emas dalam kompetisi
tenis single. Sementara itu hanya ada satu olahraga lain yang melibatkan
partisipasi wanita dalam olahraga pada tahun 1900 yaitu olahraga golf.
Di
London pada olimpiade 1908 ada 36 wanita yang bersaing di figure skating (ice
skating) dan tenis. Setelah olimpiade itu dan atas rekomendasi dari Asosiasi Olimpiade
Inggris (British Olympic Association) bahwa wanita perenang, penyelam, dan
pesenam diizinkan untuk bersaing di Olimpiade yang akan datang, Panitia
Olimpiade Swedia memasukkan dua kontes renang dan 1 kontes menyelam untuk
wanita pada tahun 1912 di olimpiade Stockholm.
Akhirnya
pada tahun 1924 IOC memutuskan untuk memperbolehkan wanita partisipasi dan
memberikan kesempatan lebih besar di olimpiade. Namun, hanya ada sedikit
bukti, bahkan pada olimpiade Berlin pada tahun 1936 di mana hanya ada empat
olahraga yang tersedia untuk wanita.
Barulah
setelah olimpiade 1948 di London bahwa ada peningkatan yang
ditandai dengan jelas dalam partisipasi wanita dalam olahraga di seluruh dunia.
Namun, hanya ada lima olahraga wanita di London dan 6 olahraga di olimpiade
1968 di Meksiko.
Akhirnya
setelah Olimpiade 1976, peningkatan besar dalam jumlah
olahraga untuk wanita mulai muncul. Pada olimpiade Atlanta tahun 1996 ada
sebanyak 26 olahraga dan 97 pertandingan terbuka untuk wanita, yang masih jauh
di bawah laki-laki dengan 163 pertandingan.
Wanita sebagai subyek dalam kompetisi
atletik tidal lagi menjadi isu kontroversional ( Shaffer.19972:431). Kata
Thomas E Shaffer,M.D.,dalam konfensi nasional tentang wanita dan olahraga th
1972 di Amerika Serikat. Tetapi mungkin masih banyak orang yang belum mendengar
berita tersebut. Mungkin juga mereka belum mengakui bahwa perubahan telah
terjadi dihadapan mereka. Partisipasi wanita dalam olahraga sudah semakin bisa
diterima. Dalam model evolusioner antropologi dari
masyarakt ‘band’ kemasyarakat ‘superband’ ditegaskan ulang bahwa peran wanita
dalam masyarakat direfleksikan dengan keterlibatan mereka dalam olahraga.
Tuntutan persamaan hak untuk menjalani aktifitas fisik
sebagai amanah kaum lelaki, kerap dianggap sebagai hal yang mustahil. Dunia
olahraga yang syasrat dengan budaya fair play kiranya dapat dijadikan media
untuk mengantarkan wanita agar mampu mensejajarkan diri, berdiri dengan leluasa
sebagai mana keberadaan kaum lelakai. Tinjauan sejarah serta tilikan
perkembangan kaum wanita yang terjadi saat ini, diharapkan dapat menyuguhkan
fakta, bahwa pada dasarnya potensi yang menyertai kaum wanita tidak semestinya
menjadi hambatan untuk dapat berperan serta dalam kegiatan olahraga, sebagai
mana kaum lelaki.
2.
Peran Wanita dalam Keikut-sertaan dan Bentuk Partisipasinya dalam Bidang
Olahraga.
Indonesia memiliki
ciri kebudayaan patriarki yang sangat kental yang telah memengaruhi ke dalam
seluruh aspek kehidupan wanita. Misalnya saja dalam bidang kesehatan,
pendidikan, ekonomi, bidang politik, dan lain-lain. Dalam bidang kesehatan,
wanita Indonesia masih sangat jauh menikmati akses kesehatan yang memadai.
Dalam bidang pendidikan, anak wanita masih tertinggal dengan anak laki-laki
terutama dalam pendidikan tinggi. Dalam bidang ekonomi dan politik, masih
terjadi ketimpangan penghasilan dan jenjang karier bagi wanita dan dalam bidang
politik, masih sangat kecil porposi wanita yang terlibat dalam bidang ini.
Kini sudah ada sedikit
pencerahan bagi kaum wanita, misalnya dengan diberlakukannya Undang-undang
Perlindungan wanita dari kekerasan yang ditimbulkan oleh pihak lain,
menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berorientasi pada
kesejahteraan wanita. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat kita, khususnya
pemerintah, berupaya untuk mengikis bias gender yang selama ini berlaku dalam
sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu kesempatan untuk berkembang bagi kaum
wanita kini semakin terbuka lebar. Sebagai contoh porsi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat meningkat beberapa persen dari kalangan wanita demikian.
Srikandi-srikandi Indonesia yang berlaga di bidang olahraga juga semakin
banyak.
Peranan
wanita dalam masyarakat berbeda di berbagai negara, namun dalam dunia olahraga,
ada upaya ke arah emansipasi. Istilah atlit dipakai, baik pada pria maupun
wanita, padahal dahulu dalam bahasa Indonesia ada pemisahan olahragawan untuk
atlit pria dan olahragawati untuk atlit wanita. Kesamaan, tanpa memandang jenis
kelamin, merupakan hal yang penting di semua tingkat olahraga, termasuk
prestasi atletik, pelatihan, fasilitas, dan persediaan peralatan, pendanaan,
dan administrasi olahraga.
Lebih Jauh
Coakley berpendapat bahwa
olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positif terhadap
perkembangan wanita sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam olahraga
itu sendiri. Nilai-nilai yang positif yang terkandung dalam aktivitas olahraga
adalah pertama, sebagai penetapan identitas diri bagi wanita, contohnya
seperti dengan partisipasi olahraga dapat menekankan anak wanita dalam
kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok.
Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi
sesuatu, jasdi aktif bukan pasif. Partisipasi olahraga dapat membuat wanita
mampu mengejar aspiris mereka dengan serius.
Nilai
positif lain yang terkandung dalam aktivitas olahraga adalah kemandirian. Oleh
karena itu, partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi individu yang
tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau
dikendalikan oleh keluarga. Selanjutnya, nilai positif yang terkadung dalam
olahraga, adalah evaluatif dan pengendalian diri yang baik. Maka, adanya
partisipasi olahraga bagi wanita dapat memberikan figur baru dan jenis pemimpin
yang dapat dikaitkan dengan diri
mereka sendiri. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan
yang berbeda, wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang yang
tidak selalu benar dan sempurna. begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan
orangtua mereka. Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam
hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan dan
kekuasaan orang lain.
Selain itu,
partisipasi olahraga juga dapat memberi peluang lepada wanita utuk melakukan
koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh
wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja, namun terdapat identitas dan
perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian,
partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan
perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini, meski situasinya
harus dibuat lebih bersifat membungun daripada sekadar untuk mencapai prestasi
atau memecahkan rekor saja.
Olahraga
membangun masyarakat yang lebih baik dengan mendorong kegiatan mental dan
fisik, keberanian dan keuletan, persahabatan dan hormat, serta kualitas
berharga lainnya. Kesemuanya dapat dicapai jika situasinya dibuat bersifat
membangun yang ditekankan oleh pelatih, pemain, orang tua, dan kelompoknya. Gerakan
olimpiade mendorong olahraga ke arah kesamaan ras manusia, tidak hanya secara
fisik tetapi juga untuk mengokohkan pengertian dan persahabatan di antara
bangsa-bangsa (J. Sigfrid Edstrom, Presiden/Ketua ke 4 IOC).
Tidak ada satupun wanita
terlahir yang secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau
atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang
ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Semua wanita memiliki
kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena
kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan
status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga.
Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat
sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas
keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebagai salah satu tuntutan
kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut
Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus
memobilisasi setiap tindakan.
Dengan mencermati bentuk
mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya
mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin
berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara
atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender).
Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra
dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra
sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika
dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang
secara jumlah memang kaum pria di kalangan pers lebih banyak yang tentu saja
akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada
semakin banyaknya jumlah penonton.
Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban
(Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga
apabila wanita melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1.
Meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.
Konsep tentang apa yang
dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.
Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status
keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang
lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa
peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah
berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai
organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan
merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya
sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam
interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang
terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan
timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan
manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus
bertanding, peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai
olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung
mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya
hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
3.
Perkembangan Keterlibatan Wanita dalam Olahraga.
Fleskin berpendapat bahwa munculnya gagasan
bahwa kaum wanita memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki
laki mendorong kaum wanita dari segala tingkat dan kalangan untuk lebih
berpartisipasi dan menunjukan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Adanya
perubahan tatanan budaya dalam masyarakat, ditandai dengan mulainya pemberian
nilai yang sama antara anak laki laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.
Olahraga bahkan dijadikan alat untuk mengeliminir kekurangan yang selama ini
dijadikan landasan perbedaan kemampuan fisik.
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kebugaran jasmani
menjelang pertengahan 70-an mendorong kaum wanita untuk mengambil bagian dalam
aktivitas fisik, termasuk olahraga. Tujuan yang ingin dicapai pada awalnya
masih dikaitkan dengan segi keindahan fisik dan kemudian mulai beranjak pada
keinginan untuk memiliki tubuh yang indah lengkap dengan kekuatan otot, bahkan
mulai bergeser pada hasrat untuk mengembangkan tubuh menjadi lebih besar, atau
degan kata lain agar lebih maskulin.
Tatanan budaya yang terjadi di masyarakat pada akirnya turut
mengubah pola hidup berolahraga bagi wanita. Bermunculanya kesadaran para orang
tua serta adanya kelapangan dari kaum laki laki untuk mengakui eksistensi kaum
wanita menjadi dasar yang signifikan yang menggiring sebagian besar anak perempuan
untuk lebih banyak mengambil kesempatan melakukan kegiatan dalam berbagai
cabang olahraga.
Olahraga kerap dipandang sebagai dunia kaum laki-laki. Pemahaman ini
tampaknya cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa
lampau. Tinjauan wanita dari berbagai sisi mengiringi pada suatu pemahaman yang
seharusnya mampu membuka mata (hati) setiap individu agar mampu memberi tempat
yang lebih lapang bagi kaum hawa untuk berperan aktif dan kondusif, beriringan
jalan dengan kaum adam. (http://awowox.blogspot.com/2009/03/wanita-dan-olahraga.html)
4.
Prestasi Wanita dalam Mengikuti Kejuaraan-kejuaran di dalam
Perlombaan dalam Bidang Olahraga.
Dalam dunia olahraga
ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya
dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas,
bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita
hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports,
atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga permainan. Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai
pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat
partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat
ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat
dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki
suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
1.
Harapan masyarakat kurang
memperhatikan tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2.
Apabila harapan masyarakat
akan tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan
bagi individu yang bersangkutan,
3.
Apabila pemenuhan harapan
masyarakat di luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga
Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu
pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan
menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan
status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh
status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh
“kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang
tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita
memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita
lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya
pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga
dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin
memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah
satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari
beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan
pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih
sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1.
Persediaan dan pemeliharaan
peralatan dan penyebarannya,
2.
Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
3.
Kesempatan memperoleh
pelatihan dan tutor akademik,
4.
Penugasan dan kompensasi
pelatih dan tutor
5.
Ketersediaan obat-obatan
dan pelayanan latihan serta fasilitas
6.
Publisitas bagi secara
individu, team, dan event.
Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam
hal kesempatan wanita berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang
perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita
pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses
ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan
yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga
legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas
pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas
memberikan ascribe status dan achieved status sebagai
individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan
lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif sosiologis sebagai acuan dalam
membicarakan kedudukan dan peran atlet di masyarakat seperti yang dikemukakan
Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam makalahnya Kedudukan dan Peran
Atlet di Masyarakat , yaitu :
1.
Keberadaan atlet di
masyarakat serta pribadi atlet sebagai individu dipandang sebagai bagian dari pola-pola
sosial; dan perasaan-perasaan mereka didasari oleh peraturan-peraturan yang
berlaku.
2.
Individu yang hidup dalam
suatu pranata sosial dan lingkungan masyarakat akan terlibat kegiatan dan
tindakan di dalam kehidupan sehari-harinya.
3.
Sebagai individu yang
rasional, seseorang mampu mengevaluasi tindakannya secara intelektual.
Hal inilah yang setidaknya memberikan
kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga
memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh
pria. Wanita tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk
memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria.
Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa
bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia
internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja
bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya,
kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam
olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang
adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah
sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya
mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah
masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari
setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya
kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang
berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan
wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria.
Coakley (1990)
mengungkapkan pula bahwa masih adanya mitos yang keliru dan masih dipegang oleh
masyarakat, terutama terjadi pada negara-negara yang tingkat pendidikan dan
informasi medik masih rendah :
1.
Keikutsertaan yang berat
dalam olahraga mungkin menjadi penyebab utama masalah kemampuan menghasilkan
keturunan.
2.
Aktivitas pada beberapa
event olahraga dapat merusak organ reproduksi atau payudara wanita.
3.
Wanita memiliki struktur
tulang yang lebih rapuh dibandingkan pria sehingga lebih mudah mengalami
cedera.
4.
Keterlibatan intens dalam
olahraga menyebabkan masalah pada menstruasi.
5.
Keterlibatan dalam
olahraga membawa ke arah perkembangan yang kurang menarik, menonjolkan otot.
Alasan-alasan inilah yang memperburuk persepsi
masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga yang secara langsung
berpengaruh pada pemberian status dan peranan sosial wanita dalam kehidupannya
secara khusus di bidang olahraga dan umumnya di kehidupan keseharian di
masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial berlaku di lingkungannya. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang
menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat.
Walaupun terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi
reproduksinya yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial,
jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo,
2003 : 45). Berikut, Prestasi terbesar Wanita dalam olahraga dan
olimpiade:
a. 1896
Dalam olimpiade pertama, seorang Wanita Yunani bernama Melpomene menjadi Wanita
pertama yang mengikuti lari marathon (tidak resmi) dalam waktu 4 jam 30 menit
b. 1900
Petenis Charlotte Cooper dari Inggris
menjadi Wanita pertama juara olimpiade di tenis tunggal
c. 1908
Pelaut, Frances Clytie Rivett-Carnac dan suaminya memenangkan medali emas,
membuat sejarah baru menjadi Wanita pertama dalam peristiwa memenangkan
pertandingan dengan Laki-laki
d. 1912
Perenang, Fanny Durack Wanita pertama yang merebut medali emas dalam waktu
rekor dunia.
e. 1928 Runtuhnya beberapa pelari pada akhir
perlombaan 800 m dinyatakan berbahaya bagi Wanita dan dilarang
f. 1948 Kemenangan Fanny Blakers-Koen seorang
pelari dari Belanda memecahkan rekor baru sebagai Ibu yang sukses saat
olimpiade. Dia memenangkan 4 medali emas di 100m, 200m 4x100m estafet dan 100m
halang rintang
g. 1952 Wanita pertama yang bersaing dalam olahraga
berkuda melawan Laki-laki.
h. 1956 Wanita pertama, Giuliana Chenal-Minuzzo
(Italia), dalam sejarah Olimpiade untuk mengambil sumpah para atlet di upacara
pembukaan olimpiade musim dingin.
i.
1968 Enriqueta Basilio menjadi Wanita
Meksiko pertama yang menyalakan cahaya api Olimpiade di stadion. Perlombaan
lari 800m untuk Wanita di lombakan ulang.
j.
1972 Lorna Johnstone umur 70 tahun atlet
berkuda, menjadi Wanita peserta olimpiade tertua
k. 1973 IOC memutuskan bahwa Wanita dapat dicalonkan sebagai anggota IOC.
l.
1980 Sukses luar biasa untuk Ibu dan putrinya
di Olimpiade, ketika pelari Soviet Irin Nazarova, putri dari Elizabeth Bagrinaseva
peraih medali emas lempar cakram tahun 1952, memenangkan emas di lari estafet.
m. 1981 Pirjo Haggman (Finlandia) dan Flor
Isava-Fonseca (Venezuela) menjadi anggota Wanita pertama dari IOC
n. 1982 Dame Maria Glen-Haig (Inggris) terpilih
menjadi anggota IOC.
o. 1984 Putri Nora dari Liechtenstein terpilih
menjadi anggota IOC. Joan Benoit (AS) memenangkan Olimpiade Maraton Wanita pertama.
p. 1988 Yang Mulia Putri Kerajaan Inggris
terpilih menjadi anggota IOC. Tenis kembali di pertandingkan di Olimpiade, dengan perjanjian yang
tidak adil bahwa Wanita harus lebih sedikit jumlahnya dari Laki-laki yang
diperbolehkan untuk bertanding.
q. 1990 Carol Anne Letheren (Kanada) terpilih
menjadi anggota IOC. Flor Isva-Fonseca adalah Wanita pertama pada Dewan
Eksekutif IOC.
r.
1993 Anita DeFranz (Amerika) terpilih
menjadi anggota dewan eksekutif IOC
s. 1994 Program perempuan untuk Olimpiade Musim
Dingin termasuk empat olahraga (Biathlon,
luge, skating dan ski) dan 25 event.
t.
1996 23 olahraga Wanita termasuk sepakbola,
voli pantai dan sepeda gunung
u. 1998 6 Olahraga Wanita termasuk hoki es.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bidang olahraga yang dulunya menjadi milik kaum maskulinitas,
sekarang perempuan sudah menjadi bagian didalamnya. Perempuan tidak lagi
menutup diri terhadap kegiatan-kegiatan olahraga yang syarat dengan aktivita
fisik. Wanita untuk mendapatkan posisi sejajar dengan pria dalam olahraga,
tidak terjadi begitu saja. Hal itu melaui proses yang berjalan seiring dengan
perkembangan emansipasi wanita. Adanya perubahan tatanan budaya dalam masyarakat, ditandai dengan
mulainya pemberian nilai yang sama antara anak laki laki dan perempuan dalam
kehidupan keluarga. Olahraga bahkan dijadikan alat untuk mengeliminir
kekurangan yang selama ini dijadikan landasan perbedaan kemampuan fisik.
Wanita dan olahraga seiring dengan berkembangnya zaman akan
menjadi hal yang sulit dipisahkan. Selain itu wanita akan dapat porsi yang sama
dalam dunia olahraga dengan kaum laki laki. Yang terpenting jangan sampai
timbul adanya saling untuk mengalahkan antar gender dalam olahraga, karena
bukan itu tujuan dari emansipasi wanita dalam olahraga.
Diharapkan dengan emansipasi wanita yang
dipelopori oleh R.A. Ajeng Kartini, wanita akan lebih dapat menselaraskan
dengan kaum pria dalam kedudukan serta skill (keahlian) dan ability
(kecakapan) dibidang olahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan
Dan Peran Atlet Di Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung
Sosiologi Olahraga.
Sumaryanto. 2002.DIKTAT MATA KULIAH SOSIOLOGI OLAHRAGA.Yogyakarta
Coakley, Jay J. (1990).Sport in Society Issues and Controversies.Fourth
Edition.Time Mirror/Mosby College Publishing – St. Louis-Toronto-Boston-Los
Altos.
Giriwijoyo, Santoso
(2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI
Bandung.
Soekanto, Soerjono(1990).Sosiologi Suatu Pengantar.Edisi Keempat.Rajawali
Pers – Jakarta.
Susanto, Astrid S. (1985).
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial.
Bina Cipta. Wendt,
Jenice Clemons. Women In Sport. University of Houston,
Houston, Texas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar