Rabu, 13 April 2016

STRATEGI DAN MODEL PEMBELAJARAN PENJAS


STRATEGI DAN MODEL PEMBELAJARAN PENJAS

Pengelolaan Kelas

1.      Pendahuluan
-          Peserta didik dikumpulkan.
Contoh : peserta didik dibariskan menjadi 2 saf. Kemudian guru menyiapkan dan menghitung jumlah pserta didik,
-          Do’a.
Contoh : sesudah dikumpulkan untuk mengawali pelajaran hari ini berdo’a menurut kepercayaan masing-masing.
-          Preseni.
Contoh : guru memanggil satu persatu peserta didik.
-          Apersepsi
Contoh : guru menjelaskan tentang tata cara pemanasan dan pokok pembelajaran yang nantinya dilakukan.
-          Pemanasan (warming up).
Contoh : dengan permainan dengan alat untuk Pemanasan.
Judul perminanan : permainan menangkap ayam terbang.
Tujuan : melatih kerjasama dalam permainan Tim
Langkah-langkah permainan :
a.       Siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A dan kelompok B.
b.      Kelompok A sebagai pelempar dan kelompok B sebagai penangkap.
c.       Permainan dimulai saat bola berada di kelompok A yang melempar bola ke kawan satu regu yang ada disisi lain berusaha jangan sampai bola tertangkap oleh penangkap bola.
d.      Kelompok pelempar berusaha menempatkan bola di kotak yang sudah disiapkan sebanyak-banyaknya.
e.      Jika kelompok penangkap bola sudah bisa menangkap bola dari pelempar sebanyak 5 kali, maka kelompok pelempar akan diberi hukuman dengan melompat sebanyak 10 kali.

Selasa, 12 April 2016

SOSIOLOGI OLAHRAGA



TINGKAT SOSIAL DAN PERAN WANITA DALAM OLAHRAGA
(MASKULINITAS, FEMINIMITAS)


Wanita, jika dibandingkan pada periode sebelumnya memiliki peran yang relatif lebih tinggi. Hal ini terbukti dan semakin luasnya kesempatan wanita dalam kegiatan-kegiatan yang dulunya lebih didominasi oleh kaum pria. Dalam hal kajian sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari pola kehidupan masyarakat, di mana masyarakat merupakan objek dari masalah-masalah sosial yang dikaji, wanita adalah bagian dari sekelompok masyarakat sehingga wanita merupakan bagian dari objek yang penting dalam suatu kajian ilmu sosiologi.
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial (sosiologi), menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial tak terkecuali di dunia olahraga. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan hampir di semua bidang. Ketidakadilan dan diskriminasi tidak terkecuali hal itu terjadi pula dibidang olahraga,
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam bidang olahrga yakni laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang amat berbeda.
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis-anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak aktif mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in Sport dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992). Penulis meyakini benar bahwa hal demikian juga berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang aktif dalam olahraga.
Banyak anggapan bahwa faktor yang menentukan dalam berolahraga dalam masyarakat adalah gender. Dimana kaum laki-laki dianggap lebih mumpuni dibandingkan perempuan dalam bidang olahraga. Namun sebenarnya hal tersebut merupakan anggapan yang keliru, karna sifat fisiologisnya yang menganggap wanita lebih lemah dari pada laki-laki. Namun sebenarnya seberapa luas dia mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya untuk mampu berkembang dibidang olahraga dalam menggali semua potensi yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai :
a.       Sejarah perkembangan wanita dalam olahraga?
b.      Seberapa besar hubungan wanita dalam peran dan bentuk partisipasi wanita dalam bidang olahraga?
c.       Perkembangan keterlibatan wanita dalam olahraga?
d.      Adakah hubungan yang signifikan antar prestasi wanita yang mengikuti perlombaan dengan prestasi yang telah dicetaknya?

B.     Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini dibuat adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui bagaimana perkembangan wanita dalam olahraga.
b.      Untuk mengetahui sejauh mana peran wanita dalam keikut-sertaan dan bentuk partisipasinya dalam bidang olahraga.
c.       Untuk mengetahui apa saja keterlibatan wanita dalam olahraga.
d.      Untuk mengetahui sejauh mana prestasi wanita dalam  mengikuti kejuaraan-kejuaran di dalam perlombaan dalam bidang olahraga.
1.      Sejarah Perkembangan Wanita dalam Olahraga.
Tahukah Anda ? Pada olimpiade jaman dahulu, wanita dilarang untuk ambil bagian. Khususnya bagi Wanita yang sudah menikah, jangankan untuk jadi pesertanya, hanya untuk memasuki wilayah pertandingan sebagai penonton pun kaum wanita tidak diperbolehkan. Jika mereka ketahuan, hukumannya adalah mati. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah pertandingan bagi kaum mereka sendiri yang di dedikasikan untuk dewi Hera. Hera adalah istri Zeus.
Ketika Olimpiade dihidupkan kembali pada tahun 1896, oleh pendirinya yaitu Baron Pierre de Coubertin iapun tidak setuju dengan adanya partisipasi wanita di Olimpiade. Masalah ini menjadi topik dari sekian banyak perdebatan diantara anggota awal IOC (International Olympic Committee).
Wanita tidak ambil bagian dalam pertandingan olimpiade sampai pada tahun 1900 sampai pada akhirnya ada seorang wanita Inggris bernama Charlotte Cooper menjadi wanita pertama yang meraih medali emas dalam kompetisi tenis single. Sementara itu hanya ada satu olahraga lain yang melibatkan partisipasi wanita dalam olahraga pada tahun 1900 yaitu olahraga golf.
Di London pada olimpiade 1908 ada 36 wanita yang bersaing di figure skating (ice skating) dan tenis. Setelah olimpiade itu dan atas rekomendasi dari Asosiasi Olimpiade Inggris (British Olympic Association) bahwa wanita perenang, penyelam, dan pesenam diizinkan untuk bersaing di Olimpiade yang akan datang, Panitia Olimpiade Swedia memasukkan dua kontes renang dan 1 kontes menyelam untuk wanita pada tahun 1912 di olimpiade Stockholm.
Akhirnya pada tahun 1924 IOC memutuskan untuk memperbolehkan wanita partisipasi dan memberikan kesempatan lebih besar di olimpiade. Namun, hanya ada sedikit bukti, bahkan pada olimpiade Berlin pada tahun 1936 di mana hanya ada empat olahraga yang tersedia untuk wanita.
Barulah setelah olimpiade 1948 di London bahwa ada peningkatan yang ditandai dengan jelas dalam partisipasi wanita dalam olahraga di seluruh dunia. Namun, hanya ada lima olahraga wanita di London dan 6 olahraga di olimpiade 1968 di Meksiko.
Akhirnya setelah Olimpiade 1976, peningkatan besar dalam jumlah olahraga untuk wanita mulai muncul. Pada olimpiade Atlanta tahun 1996 ada sebanyak 26 olahraga dan 97 pertandingan terbuka untuk wanita, yang masih jauh di bawah laki-laki dengan 163 pertandingan.
Wanita sebagai subyek dalam kompetisi atletik tidal lagi menjadi isu kontroversional ( Shaffer.19972:431). Kata Thomas E Shaffer,M.D.,dalam konfensi nasional tentang wanita dan olahraga th 1972 di Amerika Serikat. Tetapi mungkin masih banyak orang yang belum mendengar berita tersebut. Mungkin juga mereka belum mengakui bahwa perubahan telah terjadi dihadapan mereka. Partisipasi wanita dalam olahraga sudah semakin bisa diterima. Dalam model evolusioner antropologi dari masyarakt ‘band’ kemasyarakat ‘superband’ ditegaskan ulang bahwa peran wanita dalam masyarakat direfleksikan dengan keterlibatan mereka dalam olahraga.
Tuntutan persamaan hak untuk menjalani aktifitas fisik sebagai amanah kaum lelaki, kerap dianggap sebagai hal yang mustahil. Dunia olahraga yang syasrat dengan budaya fair play kiranya dapat dijadikan media untuk mengantarkan wanita agar mampu mensejajarkan diri, berdiri dengan leluasa sebagai mana keberadaan kaum lelakai. Tinjauan sejarah serta tilikan perkembangan kaum wanita yang terjadi saat ini, diharapkan dapat menyuguhkan fakta, bahwa pada dasarnya potensi yang menyertai kaum wanita tidak semestinya menjadi hambatan untuk dapat berperan serta dalam kegiatan olahraga, sebagai mana kaum lelaki.
2.      Peran Wanita dalam Keikut-sertaan dan Bentuk Partisipasinya dalam Bidang Olahraga.
Indonesia memiliki ciri kebudayaan patriarki yang sangat kental yang telah memengaruhi ke dalam seluruh aspek kehidupan wanita. Misalnya saja dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, bidang politik, dan lain-lain. Dalam bidang kesehatan, wanita Indonesia masih sangat jauh menikmati akses kesehatan yang memadai. Dalam bidang pendidikan, anak wanita masih tertinggal dengan anak laki-laki terutama dalam pendidikan tinggi. Dalam bidang ekonomi dan politik, masih terjadi ketimpangan penghasilan dan jenjang karier bagi wanita dan dalam bidang politik, masih sangat kecil porposi wanita yang terlibat dalam bidang ini.
Kini sudah ada sedikit pencerahan bagi kaum wanita, misalnya dengan diberlakukannya Undang-undang Perlindungan wanita dari kekerasan yang ditimbulkan oleh pihak lain, menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berorientasi pada kesejahteraan wanita. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat kita, khususnya pemerintah, berupaya untuk mengikis bias gender yang selama ini berlaku dalam sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu kesempatan untuk berkembang bagi kaum wanita kini semakin terbuka lebar. Sebagai contoh porsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat meningkat beberapa persen dari kalangan wanita demikian. Srikandi-srikandi Indonesia yang berlaga di bidang olahraga juga semakin banyak.
Peranan wanita dalam masyarakat berbeda di berbagai negara, namun dalam dunia olahraga, ada upaya ke arah emansipasi. Istilah atlit dipakai, baik pada pria maupun wanita, padahal dahulu dalam bahasa Indonesia ada pemisahan olahragawan untuk atlit pria dan olahragawati untuk atlit wanita. Kesamaan, tanpa memandang jenis kelamin, merupakan hal yang penting di semua tingkat olahraga, termasuk prestasi atletik, pelatihan, fasilitas, dan persediaan peralatan, pendanaan, dan administrasi olahraga.
Lebih Jauh Coakley berpendapat bahwa olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positif terhadap perkembangan wanita sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam olahraga itu sendiri. Nilai-nilai yang positif yang terkandung dalam aktivitas olahraga adalah pertama, sebagai penetapan identitas diri bagi wanita, contohnya seperti dengan partisipasi olahraga dapat menekankan anak wanita dalam kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok. Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi sesuatu, jasdi aktif bukan pasif. Partisipasi olahraga dapat membuat wanita mampu mengejar aspiris mereka dengan serius.
Nilai positif lain yang terkandung dalam aktivitas olahraga adalah kemandirian. Oleh karena itu, partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi individu yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga. Selanjutnya, nilai positif yang terkadung dalam olahraga, adalah evaluatif dan pengendalian diri yang baik. Maka, adanya partisipasi olahraga bagi wanita dapat memberikan figur baru dan jenis pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka sendiri. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang yang tidak selalu benar dan sempurna. begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orangtua mereka. Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan dan kekuasaan orang lain.
Selain itu, partisipasi olahraga juga dapat memberi peluang lepada wanita utuk melakukan koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja, namun terdapat identitas dan perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian, partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini, meski situasinya harus dibuat lebih bersifat membungun daripada sekadar untuk mencapai prestasi atau memecahkan rekor saja.
Olahraga membangun masyarakat yang lebih baik dengan mendorong kegiatan mental dan fisik, keberanian dan keuletan, persahabatan dan hormat, serta kualitas berharga lainnya. Kesemuanya dapat dicapai jika situasinya dibuat bersifat membangun yang ditekankan oleh pelatih, pemain, orang tua, dan kelompoknya. Gerakan olimpiade mendorong olahraga ke arah kesamaan ras manusia, tidak hanya secara fisik tetapi juga untuk mengokohkan pengertian dan persahabatan di antara bangsa-bangsa (J. Sigfrid Edstrom, Presiden/Ketua ke 4 IOC).
Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebagai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan.
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum pria di kalangan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah penonton.
Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1.      Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.      Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.      Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding, peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
3.      Perkembangan Keterlibatan Wanita dalam Olahraga.
Fleskin berpendapat bahwa munculnya gagasan bahwa kaum wanita memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki laki mendorong kaum wanita dari segala tingkat dan kalangan untuk lebih berpartisipasi dan menunjukan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Adanya perubahan tatanan budaya dalam masyarakat, ditandai dengan mulainya pemberian nilai yang sama antara anak laki laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Olahraga bahkan dijadikan alat untuk mengeliminir kekurangan yang selama ini dijadikan landasan perbedaan kemampuan fisik.
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kebugaran jasmani menjelang pertengahan 70-an mendorong kaum wanita untuk mengambil bagian dalam aktivitas fisik, termasuk olahraga. Tujuan yang ingin dicapai pada awalnya masih dikaitkan dengan segi keindahan fisik dan kemudian mulai beranjak pada keinginan untuk memiliki tubuh yang indah lengkap dengan kekuatan otot, bahkan mulai bergeser pada hasrat untuk mengembangkan tubuh menjadi lebih besar, atau degan kata lain agar lebih maskulin.
Tatanan budaya yang terjadi di masyarakat pada akirnya turut mengubah pola hidup berolahraga bagi wanita. Bermunculanya kesadaran para orang tua serta adanya kelapangan dari kaum laki laki untuk mengakui eksistensi kaum wanita menjadi dasar yang signifikan yang menggiring sebagian besar anak perempuan untuk lebih banyak mengambil kesempatan melakukan kegiatan dalam berbagai cabang olahraga.
Olahraga kerap dipandang sebagai dunia kaum laki-laki. Pemahaman ini tampaknya cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa lampau. Tinjauan wanita dari berbagai sisi mengiringi pada suatu pemahaman yang seharusnya mampu membuka mata (hati) setiap individu agar mampu memberi tempat yang lebih lapang bagi kaum hawa untuk berperan aktif dan kondusif, beriringan jalan dengan kaum adam. (http://awowox.blogspot.com/2009/03/wanita-dan-olahraga.html)
4.      Prestasi Wanita dalam  Mengikuti Kejuaraan-kejuaran di dalam Perlombaan dalam Bidang Olahraga.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga permainan. Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
1.      Harapan masyarakat kurang memperhatikan tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2.      Apabila harapan masyarakat akan tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan bagi individu yang bersangkutan,
3.      Apabila pemenuhan harapan masyarakat di luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1.      Persediaan dan pemeliharaan peralatan dan penyebarannya,
2.      Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
3.      Kesempatan memperoleh pelatihan dan tutor akademik,
4.      Penugasan dan kompensasi pelatih dan tutor
5.      Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan latihan serta fasilitas
6.      Publisitas bagi secara individu, team, dan event.
Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam hal kesempatan wanita berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status dan achieved status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif sosiologis sebagai acuan dalam membicarakan kedudukan dan peran atlet di masyarakat seperti yang dikemukakan Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam makalahnya Kedudukan dan Peran Atlet di Masyarakat , yaitu :
1.      Keberadaan atlet di masyarakat serta pribadi atlet sebagai individu dipandang sebagai bagian dari pola-pola sosial; dan perasaan-perasaan mereka didasari oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
2.      Individu yang hidup dalam suatu pranata sosial dan lingkungan masyarakat akan terlibat kegiatan dan tindakan di dalam kehidupan sehari-harinya.
3.      Sebagai individu yang rasional, seseorang mampu mengevaluasi tindakannya secara intelektual.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria.
Coakley (1990) mengungkapkan pula bahwa masih adanya mitos yang keliru dan masih dipegang oleh masyarakat, terutama terjadi pada negara-negara yang tingkat pendidikan dan informasi medik masih rendah :
1.      Keikutsertaan yang berat dalam olahraga mungkin menjadi penyebab utama masalah kemampuan menghasilkan keturunan.
2.      Aktivitas pada beberapa event olahraga dapat merusak organ reproduksi atau payudara wanita.
3.      Wanita memiliki struktur tulang yang lebih rapuh dibandingkan pria sehingga lebih mudah mengalami cedera.
4.      Keterlibatan intens dalam olahraga menyebabkan masalah pada menstruasi.
5.      Keterlibatan dalam olahraga membawa ke arah perkembangan yang kurang menarik, menonjolkan otot.
Alasan-alasan inilah yang memperburuk persepsi masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga yang secara langsung berpengaruh pada pemberian status dan peranan sosial wanita dalam kehidupannya secara khusus di bidang olahraga dan umumnya di kehidupan keseharian di masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial berlaku di lingkungannya. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45). Berikut, Prestasi terbesar Wanita dalam olahraga dan olimpiade:
a.       1896 Dalam olimpiade pertama, seorang Wanita Yunani bernama Melpomene menjadi Wanita pertama yang mengikuti lari marathon (tidak resmi) dalam waktu 4 jam 30 menit
b.      1900 Petenis Charlotte Cooper dari Inggris menjadi Wanita pertama juara olimpiade di tenis tunggal
c.       1908 Pelaut, Frances Clytie Rivett-Carnac dan suaminya memenangkan medali emas, membuat sejarah baru menjadi Wanita pertama dalam peristiwa memenangkan pertandingan  dengan Laki-laki
d.      1912 Perenang, Fanny Durack Wanita pertama yang merebut medali emas dalam waktu rekor dunia.
e.       1928 Runtuhnya beberapa pelari pada akhir perlombaan 800 m dinyatakan berbahaya bagi Wanita dan dilarang
f.       1948 Kemenangan Fanny Blakers-Koen seorang pelari dari Belanda memecahkan rekor baru sebagai Ibu yang sukses saat olimpiade. Dia memenangkan 4 medali emas di 100m, 200m 4x100m estafet dan 100m halang rintang
g.      1952 Wanita pertama yang bersaing dalam olahraga berkuda melawan Laki-laki.
h.      1956 Wanita pertama, Giuliana Chenal-Minuzzo (Italia), dalam sejarah Olimpiade untuk mengambil sumpah para atlet di upacara pembukaan olimpiade musim dingin.
i.        1968 Enriqueta Basilio menjadi Wanita Meksiko pertama yang menyalakan cahaya api Olimpiade di stadion. Perlombaan lari 800m untuk Wanita di lombakan ulang.
j.        1972 Lorna Johnstone umur 70 tahun atlet berkuda, menjadi Wanita peserta olimpiade tertua
k.      1973 IOC memutuskan bahwa Wanita dapat dicalonkan sebagai anggota IOC.
l.        1980 Sukses luar biasa untuk Ibu dan putrinya di Olimpiade, ketika pelari Soviet Irin Nazarova, putri dari Elizabeth Bagrinaseva peraih medali emas lempar cakram tahun 1952, memenangkan emas di lari estafet.
m.    1981 Pirjo Haggman (Finlandia) dan Flor Isava-Fonseca (Venezuela) menjadi anggota Wanita pertama dari IOC
n.      1982 Dame Maria Glen-Haig (Inggris) terpilih menjadi anggota IOC.
o.      1984 Putri Nora dari Liechtenstein terpilih menjadi anggota IOC. Joan Benoit (AS) memenangkan Olimpiade Maraton Wanita pertama.
p.      1988 Yang Mulia Putri Kerajaan Inggris terpilih menjadi anggota IOC. Tenis kembali di pertandingkan di Olimpiade, dengan perjanjian yang tidak adil bahwa Wanita harus lebih sedikit jumlahnya dari Laki-laki yang diperbolehkan untuk bertanding.
q.      1990 Carol Anne Letheren (Kanada) terpilih menjadi anggota IOC. Flor Isva-Fonseca adalah Wanita pertama pada Dewan Eksekutif IOC.
r.        1993 Anita DeFranz (Amerika) terpilih menjadi anggota dewan eksekutif IOC
s.       1994 Program perempuan untuk Olimpiade Musim Dingin termasuk empat olahraga (Biathlon, luge, skating dan ski) dan 25 event.
t.        1996 23 olahraga Wanita termasuk sepakbola, voli pantai dan sepeda gunung
u.      1998 6 Olahraga Wanita termasuk hoki es.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bidang olahraga yang dulunya menjadi milik kaum maskulinitas, sekarang perempuan sudah menjadi bagian didalamnya. Perempuan tidak lagi menutup diri terhadap kegiatan-kegiatan olahraga yang syarat dengan aktivita fisik. Wanita untuk mendapatkan posisi sejajar dengan pria dalam olahraga, tidak terjadi begitu saja. Hal itu melaui proses yang berjalan seiring dengan perkembangan emansipasi wanita. Adanya perubahan tatanan budaya dalam masyarakat, ditandai dengan mulainya pemberian nilai yang sama antara anak laki laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Olahraga bahkan dijadikan alat untuk mengeliminir kekurangan yang selama ini dijadikan landasan perbedaan kemampuan fisik.
Wanita dan olahraga seiring dengan berkembangnya zaman akan menjadi hal yang sulit dipisahkan. Selain itu wanita akan dapat porsi yang sama dalam dunia olahraga dengan kaum laki laki. Yang terpenting jangan sampai timbul adanya saling untuk mengalahkan antar gender dalam olahraga, karena bukan itu tujuan dari emansipasi wanita dalam olahraga.


3.2 Saran
Diharapkan dengan emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A. Ajeng Kartini, wanita akan lebih dapat menselaraskan dengan kaum pria dalam kedudukan serta skill (keahlian) dan ability (kecakapan) dibidang olahraga.

DAFTAR PUSTAKA
Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan Dan Peran Atlet Di Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung Sosiologi Olahraga.
Sumaryanto. 2002.DIKTAT MATA KULIAH SOSIOLOGI OLAHRAGA.Yogyakarta
Coakley, Jay J. (1990).Sport in Society Issues and Controversies.Fourth Edition.Time Mirror/Mosby College Publishing – St. Louis-Toronto-Boston-Los Altos.
Giriwijoyo, Santoso (2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI Bandung.
Soekanto, Soerjono(1990).Sosiologi Suatu Pengantar.Edisi Keempat.Rajawali Pers – Jakarta.
Susanto, Astrid S. (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. Wendt,
Jenice Clemons. Women In Sport. University of Houston, Houston, Texas.